Satu, dua, tiga,
empat, lima…. Dia terus menghitung jemari kakinya sambil menggoyang-goyang
kedua jempol kaki itu. Berulang-ulang. Dari sepuluh kembali ke satu. Entah
sampai kapan, sebagai pengusir rasa bosan menunggu sosok yang dipikirnya baru
akan muncul kembali jika asteroid jatuh ke halaman rumahnya. Atau jika lebaran
monyet tiba.
Atau mungkin karena dia tak kuasa menahan rasa hati yang
ketar-ketir menunggu sosok itu. Sepertinya ada seorang komponis hebat sedang mengadakan
konser tepat di jantungnya. Suara musik membahana memenuhi hati hingga telinganya
sendiri. Dag! Dig! Dug! Oh! Dia harus
mengalahkan suara itu! Dia kembali berhitung. Dengan objek yang sama. Dengan
gaya yang sama. Tapi meninggikan suara, tanpa peduli keheranan orang-orang yang
kebetulan melewati tempat duduknya.
Ah! Mengapa sosok itu muncul sekarang? Apa yang dia lakukan?
Seharusnya dia tak di sini. Harusnya tak dia iyakan ajakannya untuk bertemu di
taman ini. Taman tak terurus dan dipenuhi sampah bekas piknik. Tapi ini taman mereka.
Taman tempat pertama kalinya mereka berjumpa dan pada akhirnya berpisah karena
sosok itu memutuskan untuk tidak memilihnya. Dan sekarang mereka akan berjumpa kembali di sini, di taman ini.
Mata gadis itu masih terpaut pada jempol kakinya yang bergoyang-goyang. Hatinya hampir menangis. Jempol kakinya mulai pegal dan kaku. Tapi bayangan sosok itu bahkan belum terlihat. Mungkin sosok itu berubah pikiran. Air mata gadis itu meleleh perlahan. Dia memutuskan untuk berhenti menggoyang jempol kakinya sambil meringis kesakitan. Mungkin rasa sakit ini sepadan dengan kebodohanku, batinnya. Menyesali betapa mudahnya dia mengiyakan. Betapa mudahnya dia percaya. Sungguh betapa mudahnya.(ZA)
No comments:
Post a Comment